top of page

SVB Kolaps, Apakah Indonesia Perlu Waspada?

Updated: Apr 11, 2023


Sumber : Reuters

Silicon Valley Bank (SVB), salah satu bank yang dipercayai oleh mayoritas perusahaan teknologi dan ilmu pengetahuan Amerika Serikat, baru saja dinyatakan bangkrut. Sebagai bank komersial terbesar ke-16 di Amerika, kejatuhan bank ini membuat tidak hanya nasabah, tetapi juga masyarakat umum, ikut mundur dan kini sedang mengamati langkah apa yang harus mereka ambil selanjutnya. SVB sendiri merupakan bank yang mayoritas pendanaan dikucurkan untuk mendukung bisnis startup yang berfokus terhadap sektor teknologi.

Para ekonom percaya bahwa kejatuhan bank yang memegang motto “financial partner of the innovation economy” ini tidak terjadi secara tiba-tiba. Hal ini dapat dilihat dari beberapa kesulitan yang telah dialami oleh SVB sebelumnya. Salah satunya adalah kenaikan suku bunga karena kedua industri terutama startup yang tidak stabil karena keberadaannya yang relatif baru dan banyaknya ketidakpastian kondisi ekonomi.

Apa yang terjadi?

Kejatuhan SVB tidak dapat diketahui secara pasti. Tetapi berdasarkan dari berbagai sumber terpercaya, kemunduran regulasi merupakan faktor yang paling banyak diperdebatkan. Undang-undang yang disahkan pada masa pemerintahan Presiden Trump mengharuskan bank-bank dengan aset sekurangnya $50 milyar untuk menjalani stress test tahunan dari Federal Reserve dengan mempertahankan tingkat modal tertentu. Menariknya, SVB tidak termasuk dalam kategori tersebut, mengingat aset yang mereka miliki belum mencapai angka yang ditentukan dalam regulasi tersebut. Oleh karena itu, SVB tidak masuk kedalam tinjauan The Fed karena gagal melihat potensi risiko yang dapat ditimbulkan terhadap perekonomian Amerika.

Selain itu, manajemen risiko di bank tersebut juga dianggap merisaukan. Kekosongan posisi Chief Risk Officer (CRO) di tahun 2022 diprediksi menjadi faktor terjadinya kejatuhan SVB. Ditambah lagi, Gregory W. Becker, selaku CEO bank, merupakan salah satu anggota dewan The Fed yang menimbulkan pertanyaan lebih lanjut kepada publik, seperti yang dikatakan oleh Senator Bernie Sanders dari Vermont, AS; "Salah satu aspek yang paling tidak masuk akal dari kegagalan bank di Silicon Valley adalah CEO-nya merupakan seorang direktur di lembaga yang sama yang memiliki tugas untuk bertanggung jawab dalam mengaturnya."

Terakhir, seperti yang telah disebutkan sebelumnya di artikel ini, kenaikan suku bunga yang tajam menjadi salah satu faktor lain keruntuhan SVB. SVB menawarkan suku bunga "zero money” yang berarti memberi pinjaman pada klien dengan biaya sangat rendah. Sebagai gantinya, bank ini menaruh uang ke dalam obligasi treasury AS jangka panjang, yang mana suku bunga melonjak naik dan inflasi masih berada di angka 6%.

Keruntuhan ini sendiri dipicu oleh anjloknya saham SVB yang mencapai 60%, pada hari Kamis lalu. Diumumkan bahwa mereka telah menjual banyak sekuritas yang merugikan dan akan lanjut menjual $2,25 miliar dalam bentuk saham baru untuk menutup lubang keuangannya. Hal ini memicu keresahan di antara para nasabah, yang pada akhirnya menarik uang mereka secara besar- besaran.

Kerusakan yang Ditimbulkan

Mulai dari perusahaan startup, nasabah, dan juga beberapa bank regional AS yang berskala lebih kecil lainnya kini mengalami kerugian akibat keruntuhan SVB. Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) telah mengambil alih kegagalan ini dengan menjamin deposito hingga $250.000 agar dana simpanan di perbankan tetap aman. Meskipun begitu, Silicon Valley Bank memiliki klien di sejumlah ekosistem startup global yang tersebar di Asia serta Eropa. Setidaknya di tahun 2022, klien internasional mewakili 3% dari total dana klien atau mencapai sekitar $31,1 miliar.

The Fed dengan sangat mungkin terpaksa untuk menurunkan suku bunga mereka di tengah kepanikan publik, mengingat hal tersebut merupakan alasan besar di balik kegagalan ini.

Dampaknya Terhadap Ekonomi Indonesia

Melihat kegesitan The Fed dalam merespon situasi ini, diprediksi tidak banyak dampak negatif yang mempengaruhi ekonomi Indonesia secara keseluruhan. Namun, beberapa dampak terjadi dalam lintas sektor keuangan, termasuk fluktuasi nilai tukar dan pasar obligasi. Sejumlah besar startup di Indonesia terhubung langsung dengan SVB, terutama terkait pendanaan. Hal itu menimbulkan potensi berkurangnya pasokan modal yang mengakibatkan dampak negatif salah satunya adalah pemangkasan pekerja atau PHK. Oleh karena itu, Indonesia harus tetap waspada terhadap dampak runtuhnya SVB ini.

Meskipun begitu, keadaan ekonomi Indonesia sudah jauh lebih baik dan stabil di tengah pelemahan nilai rupiah setelah adanya sentimen risk-off di pasar global. Selama fenomena ini tidak mengarah ke krisis global seperti tahun 2008 silam, dampak yang terjadi diperkirakan cukup kecil.

“Walaupun masih ada ketidakpastian global, selama kebijakan kita baik dan terus menjaga permintaan domestik, ekonomi kita masih bisa tumbuh,” ujar Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Purbaya Yudhi Sadewa.


 
 
 

Comments


Untitled design (1).png
  • Instagram
  • TikTok
  • Twitter
  • LinkedIn
  • YouTube
  • Spotify

©2022

bottom of page