top of page

Mengenal Istilah ‘Bubble Bursts’ yang Sedang Melanda Start-Ups

Hi Quarterians, kata 'start-up' akhir-akhir ini sudah tidak asing lagi di telinga kita, ya. Beberapa tahun belakangan ini, pekerjaan-pekerjaan di dunia start-up banyak diminati oleh para fresh graduates. Pasti udah pada kebanyang gimana serunya kerja di sebuah start-up, ditambah lagi media sosial juga sering meliput aktivitas dan suasana kerja di start-up. Tapi, kali ini start-up sedang ramai dibicarakan publik bukan mengenai suasana kerjanya, tetapi karena beberapa start-up telah memutus hubungan kerja (PHK) dengan banyak karyawannya. Kira-kira atas dasar apa pemutusan hubungan kerja ini? Ternyata hal ini disebabkan oleh sebuah fenomena yang disebut 'bubble bursts'.


Nah, udah pernah dengar istilah bubble burst sebelumnya? Pada dasarnya, fenomena bubble burst ditandai dengan turunnya harga secara drastis dalam waktu yang relatif singkat. Beberapa start-up di Indonesia yang melakukan pengurangan jumlah karyawan adalah Zenius, Fintech, JD.ID, LinkAja, TaniHub, Pahamify, Mobile Premier League (MPL), dan Lummo.


Ada beberapa penyebab terjadinya bubble burst pada start-up. Yang pertama adalah persaingan produk di pasar, dimana produk yang ditawarkan suatu start-up kalah bersaing dan kehilangan market share secara signifikan. Akhir-akhir ini, pertumbuhan start-up di Indonesia sangat cepat sehingga persaingan juga menjadi semakin kompetitif. Kedua, banyak start-up mulai kesulitan untuk mencari pendanaan karena investor lebih selektif dalam memilih perusahaan untuk diberikan pendanaan setelah pandemi Covid-19. Ketiga, pasar sudah mulai bosan dan sensitif terhadap promo dan diskon sehingga banyak start-up yang kesulitan untuk memperoleh pengguna baru.


Seorang Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad, juga mengatakan "Fenomena start-up bubble burst membuat perlambatan pada sejumlah sektor. Namun, potensi ekonomi digital tetap bertahan dan survive." Ditambah lagi, Dewan Pakar Institute for Social Economic Digital Indonesia (ISED), Rosdiana Sijabat, juga menyampaikan bahwa nilai ekonomi digital akan tetap tinggi karena faktor konsumsi setelah pandemi Covid-19 bertumbuh dengan pesat. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa nilai ekonomi digital masih hanya berkontribusi sekitar 4% terhadap perekonomian Indonesia. "Lompatan nilai ekonomi digital itu kan didapat dari sejumlah layanan seperti e-commerce, transportasi online, hingga pengantaran makanan. Ini bisa tinggi karena layanan itu terdorong konsumsi rumah tangga yang mulai membaik," ujarnya.



Quarter, Your one-stop personal financing platform!

On our way to create financially-literate Indonesians.


Comments


Untitled design (1).png
  • Instagram
  • TikTok
  • Twitter
  • LinkedIn
  • YouTube
  • Spotify

©2022

bottom of page